CEO SIRCLO Brian Marshal Membocorkan Tren dan Tantangan Besar Industri E-Commerce Tanah Air

CEO SIRCLO Brian Marshal Membocorkan Tren dan Tantangan Besar Industri E-Commerce Tanah Air

CEO SIRCLO Brian Marshal Membocorkan Tren dan Tantangan Besar Industri E-Commerce Tanah Air

September 19, 2019

Brian Marshal, Founder & CEO SIRCLO

Statista menyebutkan penjualan ritel e-commerce di Indonesia akan menjadi USD16,5 miliar pada 2022. Sayangnya, sektor FMCG di e-commerce hanya menyumbang 1,6% dari total omzet. Brian Marshal membagikan tantangan dan tren yang dapat dimanfaatkan brands untuk melaju lebih cepat.

JAKARTA, 19 September 2019 - SIRCLO merupakan perusahaan solusi e-commerce lokal yang membantu pemilik bisnis untuk berjualan di berbagai situs online, baik berupa toko online sendiri ataupun marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, Shopee, dan Lazada. Sejak awal dibangun pada tahun 2013, perusahaan ini telah membukukan investasi senilai lebih dari 100 miliar Rupiah untuk mengakselerasi pertumbuhan industri e-commerce Indonesia. Sepanjang tahun 2018, SIRCLO sudah memfasilitasi transaksi ritel online dengan nilai lebih dari 500 miliar Rupiah. Tahun ini, SIRCLO menargetkan pertumbuhan sebesar dua kali lipat dari sebelumnya, yakni 1 triliun Rupiah.

Pada perayaan ulang tahun keenam di tahun 2019, SIRCLO melaporkan bahwa perusahaan telah memfasilitasi lebih dari 4 juta dollar AS (sekitar 56 miliar Rupiah) transaksi ritel setiap bulannya. Angka ini dicapai oleh SIRCLO melalui dua produk andalannya: SIRCLO Store dan SIRCLO Commerce. SIRCLO Store ditujukan untuk membantu brand lokal membuat toko online dengan mudah, sedangkan SIRCLO Commerce bermisi membantu brand, baik lokal maupun multinasional, menangani proses end-to-end penjualan di berbagai kanal marketplace. 

Brian Marshal, Founder dan CEO SIRCLO, optimis terhadap potensi perkembangan industri e-commerce di tanah air. “Melihat data-data internal maupun eksternal, pertumbuhan e-commerce di Indonesia di tahun 2019 masih positif dan tidak menunjukkan perlambatan,” jelasnya. Menurutnya, dari tahun ke tahun pertumbuhan pasar e-commerce Indonesia secara keseluruhan mencapai dua kali lipat. “Bahkan beberapa tahun mendatang, akan berkembang menjadi 8 hingga 10 kali lipat. Kami melihat bahwa pertumbuhan e-commerce masih on track menuju arah angka tersebut.”

Hal yang disampaikan Brian konsisten dengan temuan tentang pertumbuhan e-commerce Indonesia di tahun-tahun sebelumnya. Penjualan ritel e-commerce Indonesia diperkirakan mencapai 8,59 miliar dollar AS (sekitar 117,7 triliun Rupiah) pada 2018. Jumlah tersebut, menurut data Statista akan meningkat menjadi 16,5 miliar dolar AS pada 2022 atau naik hampir dua kali lipat. Ditambah lagi bahwa angka ini hanya mencakup 11,6% penduduk Indonesia, sehingga potensi untuk penetrasi pasar yang lebih mendalam masih sangat besar.

Akan tetapi, pertumbuhan yang cepat dan signifikan masih belum mencerminkan angka yang besar. Misalnya di sektor FMCG, e-commerce hanya menyumbang 1,6% penjualan dari total omzet. Sedangkan FMCG di Korea Selatan telah menyumbang 18%, serta dalam kasusnya Tiongkok di angka 16%. Hal yang perlu diperhatikan dari fakta ini menurut Brian ada dua. “Pertama, angka ini walaupun kecil tidak boleh diremehkan, karena penjualan e-commerce memiliki potensi lebih dari sekadar omset. Presensi online sekarang justru bisa berdampak langsung pada penjualan offline. Kedua, keadaan ekonomi makro yang fluktuatif masih belum memiliki imbas secara langsung terhadap pertumbuhan e-commerce, karena angka yang masih sangat kecil. Mungkin hanya dari sisi pasar modal saja yang masih menentukan perkembangan dari para pemain e-commerce,” jelas Brian. 

Selain skema pertumbuhan e-commerce di Indonesia, Brian menegaskan bahwa pemilik usaha dan brand perlu memperhatikan beberapa tantangan yang bisa mempengaruhi dinamika penjualan di e-commerce sekarang dan di tahun mendatang. “Semakin bervariasi channel dan model untuk berjualan. Dulu yang populer hanya model C2C atau pelanggan berjualan ke pelanggan, sekarang bisnis ke bisnis, bisnis ke distributor, bahkan bisnis ke toko dan warung offline juga tidak jarang,” terang Brian. Menurutnya, offline dan online tidak bersifat eksklusif. Bukan hanya banyak pemain offline yang ingin merambah ke marketplace online, begitu juga sebaliknya. “Kuncinya adalah bagaimana pemilik usaha dan brand bisa menyikapi variasi ini dengan bijak. Tugas kami sebagai perusahaan e-commerce enabler adalah membantu mereka dengan menyediakan layanan teknologi satu pintu.”

Tantangan kedua terletak pada logistik dan geografi. Sudah bukan hal asing lagi bahwa pusat perekonomian Indonesia, terutama industri e-commerce, terletak di Jawa dan khususnya DKI Jakarta. “Namun, salah besar bila kita menganggap pasar di luar Jawa belum siap. Justru sebenarnya sulit berkembang karena biaya kirim yang mahal. Bagaimana kita menurunkan hal tersebut yang kemudian menjadi kunci perkembangan e-commerce Tanah Air yang lebih besar dan merata,” jelas Brian. 

Tantangan ketiga terletak pada kemampuan untuk memanfaatkan teknologi. Menurut Brian, secara offline data pertumbuhan pasar sulit didapatkan secara langsung dan seringkali perlu mengandalkan perusahaan riset. “Namun, berbeda dengan skema online, berbagai jenis data tentang pasar dan perilakunya bisa didapatkan secara real-time. Semua jejak terekam dengan baik,” jelas Brian. Menurutnya pemilik bisnis hanya perlu mengandalkan teknologi yang tepat untuk mengolah dan melakukan analisis untuk meningkatkan engagement dengan target pasarnya. “Itulah salah satu peran utama kami sebagai enabler dalam membantu brand dan pemilik bisni

Untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut, menurut Brian pemilik usaha dan brand tidak boleh anti terhadap persaingan yang datang dari luar. “Seringkali banyak pihak yang masih skeptis terhadap pemain dan bantuan yang datang dari luar. Padahal, hal yang membuat pertumbuhan sebuah pasar kuat adalah kolaborasi dan kompetisi yang hadir antar-negara,” ujar Brian.  

Brian juga memberikan pandangannya terhadap beberapa isu tentang e-commerce yang menuai diskusi hangat di dalam negeri, seperti regulasi pajak dan turunnya beberapa pemain terkenal ke industri e commerce Indonesia. “Kembali lagi ke tujuan dari pajak itu sendiri, Kami melihat pajak sebagai bentuk kontribusi kembali dari perusahaan yang sukses berkat konsumennya, kepada konsumennya,” jelas Brian. “Hanya saja, kebijakan yang berlaku tidak boleh mengkerdilkan industri yang sedang berkembang. Regulasi dan pengawasan memang perlu sejak awal, namun kebijakan perpajakan perlu mempertimbangkan skala pertumbuhan terhadap industri tersebut.” 

Terakhir, menanggapi isu-isu mengenai penurunan pertumbuhan beberapa pemain, Brian mengatakan hal itu wajar terjadi dalam industri yang berkembang pesat. “Industri yang berkembang pesat menandakan kompetisi yang tinggi. Walau pertumbuhannya sehat, tidak berarti semua pemain akan sukses. Ini sama sekali bukan indikasi bahwa e-commerce Indonesia lesu. Justru merupakan peluang untuk belajar dan memperbaiki untuk semua pihak,” jelas Brian. 

***

Tentang SIRCLO

SIRCLO adalah perusahaan teknologi yang menyediakan solusi untuk membantu brand dan pemilik usaha berjualan secara online. SIRCLO menawarkan dua produk: SIRCLO Store dan SIRCLO Commerce. SIRCLO Store adalah sebuah platform SaaS (Software as a Service) pembuatan situs toko online bagi bisnis lokal skala kecil hingga menengah. Hingga kini, SIRCLO Store telah membantu hampir 1.000 pengguna aktif berbayar membangun brand dan mengembangkan bisnisnya secara online, seperti ATS The Label, Wearing Klamby, Benscrub, Namaste Organic, dan This Is April. 

SIRCLO Commerce adalah channel management solution yang menjawab kebutuhan brand corporate untuk masuk ke jalur distribusi online. Didukung oleh teknologi yang dapat melakukan sinkronisasi penjualan di berbagai marketplace, SIRCLO Commerce dipercaya oleh berbagai brand ternama seperti Reckitt Benckiser, KAO, Arnotts, Kellogg’s, L'Oréal Paris, PepsiCo, dan Minimal.